Artikel

Bawaslu mau OTT dan TT?

Bawaslu mau OTT dan TT?

Makna mau dapat dikatakan dekat dengan keinginan, sedangkan keinginan dekat dengan harapan. Jika kita beri gradasi makna mau dalam hal ini terkait dengan keinginan kedepannya. Mungkin kita ingat dahulu ketika masih kecil sering ditanya oleh guru mau jadi apa nanti? dijawab misal mau menjadi seorang dokter. Perjalannya menjadi dokter, setidaknya harus melalui proses panjang dalam pemenuhan kualifikasi dari Pendidikan sampai pada Pendidikan spesialisasi sedangkan kompetensi diuji melalui ujian sertifikasi hingga akhirnya memiliki kewenangan sebagai dokter umum maupun spesialis. Dalam kaitanya ketika Bawaslu mau OTT (Operasi Tangkap Tanggan) dan TT (Tertangkap Tangan) juga harus memiliki kewenangan serta kompetensi dan kualifiasi sehingga dapat menggunakan kewenangan dengan baik. Lord acton mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, dengan adanya proses pemaknaan mau ini diharapkan pelaksanaan kewenangan dapat dijalankan dengan baik dan juga benar, tidak ada penyelahgunaan wewenang.

Bawaslu salah satunya dalam program patroli Pengawas beberapa kali menangkap tangan peserta pemilu dan tim pemenangan yang diduga sedang memberi uang kepada masyarakat untuk memengaruhi pilihannya di beberapa kabupaten/kota yang tertangkap dari operasi tangkap tangan (OTT) khususnya pada Pemilu dan Pilkada. Hal ini menarik untuk membaca kedepan (forecast) terkait tindak pidana pemilu atau pemilihan salah satunya politik uang (money politic) pada pemilu dan pilkada tahun 2024 yang akan banyak dihadapi oleh Bawaslu, khususnya Bawaslu Provinsi Kalimantan Timur yang beberapa kali dibeberapa daerah ada potensi pidana tersebut yang memerlukan tindakan OTT dan TT.

 Pola OTT sebenarnya sudah diadopsi oleh Lembaga/instansi lain misalnya KPK, selain dari itu ada Satgas Saber Pungli. Mendalami OTT dan TT tersebut, hal menariknya adalah dalam melakukan OTT dan TT kunci utamanya harus ada unsur Kepolisian. Pertanyaannya bagaimana dengan Bawaslu yang melakukan OTT dan TT dalam hal tindak pidana pemilu atau pemilihan? Karena pola yang dilakukan Bawaslu menggunakan pola Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang didalamnya juga terdapat unsur Kepolisian dan Kejaksaan sehingga terbuka kemungkinan untuk melakukan OTT dan TT tindak pidana pemilu dan pemilihan, akan tetapi untuk penguatan diperlukan beberapa desain pola OTT dan TT tindak pidana pemilu atau pemilihan yang akan digunakan kedepannya oleh Gakkumdu.

Operasi Tangkap Tangan dan Tertangkap Tangan

Istilah Operasi tangkap tangan (Hand Arrest Operation) atau biasa disebut OTT merupakan istilah yang biasa kita dengar dan identik dengan tindakan yang KPK. OTT dalam upaya pemberantasan korupsi melalui sebuah operasi rahasia (silent operation), dan terstruktur guna menangkap basah pelaku saat melakukan tindak korupsi. Jika ditelusuri sistamtis melaui peraturan perundangan istilah OTT atau TT dalam KUHAP dapat melihat suatu rangkaian proses hukum dari Penangkapan, Penahanan sampai dengan Penyitaan. Penelusuran proses tersebut akan menjelaskan karakteristik dari OTT dan TT dalam hukum Pidana Indonesia.

Rangkaian proses penangkapan berdasarkan Pasal 1 butir 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik, berupa penangkapan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidik atau penuntutan dan atau badan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Kemudian dalam Pasal 16 ayat (1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Pada ayat (2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

Berdasarkan Pasal 17 KUHAP menentukan bahwa penyelidik dan penyidik/penyidik pembantu melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, dan harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ketentuan ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana. berdasarkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 dinyatakan bahwa frasa bukti permulaan ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.

Tertangkap tangan sendiri secara rigid dijelaskan dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP, tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau saat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu menunjukkan bahwa ia adalah pelakukanya atau turut melakukan atau membantu malakukan tindak pidana itu.

Rangkaian OTT dan TT tidak lepas dari tindakan Penahanan, Penggeledahan dan Penyitaan. Kesatuan rangkaian tersebut walaupun tidak semua harus dilakukan dalam OTT dan TT. Untuk itu ketika tindakan OTT dan TT jika sudah sesuai dengan hukum, rangkaian tindakan selanjutnya harus memiliki legalitas yang kuat. Adapun penjelasan rangkaian tindakannya sebagai berikut:

  1. Penahanan sesuai dengan Pasal 1 Butir 21 KUHAP menyebutkan penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang;
  2. Penggeledahan sesuai dengan Pasal 1 Butir 17 dan 18 KUHAP ada dua penggeledahan yakni penggeledahan rumah, pakaian atau badan, kemudian alam Pasal 33 KUHAP, dalam melaksanakan penggeledahan, penyidik harus dilengkapi dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri. Kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak, bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, maka penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin tertulis dari ketua pengadilan negeri (Pasal 34 KUHAP);
  3. Penyitaan sesuai dengan Pasal 1 Butir 16 KUHAP, serangkain tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, peradilan. Penyitaan pada hakikatnya termasuk wewenang dan fungsi penyidik, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai barang bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat

Hasil penulusuran sistematis KUHAP istilah OTT tidak ditemukan, TT secara rigid dituliskan dalam KUHAP. Namun istilah OTT muncul dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Satgas Saber Pungli mempunyai sejumlah wewenang, salah satunya adalah melakukan operasi tangkap tangan. Namun yang dimaksud dengan operasi tangkap tangan tidak dijelaskan rigid dalam Perpres Nomor 87 Tahun 2016. Sehingga pada kesimpulannya istilah OTT tidak bertentangan dengan hukum sebagaimana juga TT tertulis secara rigid dalam KUHAP. Pola OTT dan TT ini kedepan dapat diadopsi oleh Gakkumdu dengan memperhatikan desain struktur dalam KPK dan Saber Pungli. Kunci awal yang menjadi dasar OTT dan TT seperti dijelaskan diatas adalah menekankan pada kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan yang memiliki fungsi utama penegakan hukum. Sehingga kunci awal ini menjadi sedikit terbuka terkait dengan desain Gakkumdu dimana didalamnya terdapat unsur Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan.

Gakkumdu dalam Integrated Criminal Justice System

Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) desain yang dibangun baik itu di UU Pemilu dan UU Pemilihan Kepala Daerah pada hakikatnya untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Gakkumdu melekat pada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Bersama dijelaskan terkait dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu selanjutnya disebut Sentra Gakkumdu adalah pusat aktivitas penegakanhukum Tindak Pidana Pemilihan yang terdiri dari unsur Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri.

Keterpaduan tersebut teringat nasihat Prof Eddy O.S. Hiariej salah satu jagoan saya di bidang pidana, ia menjelaskan dengan mengutip pendapat Hebert L. Packer dalam The Limits of the Criminal Sanction mengatakan bahwa para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Packer selanjutnya memperkenalkan dua model dalam sistem peradilan pidana yaitu crime control model dan due process model.

Crime control model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Sedangkan due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan penasehat hukum amat penting sekali dengan tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah.

Dari nasihat Prof Eddy dikaitan dengan pola Gakumdu, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikenal asas defererensiasi fungsional. Artinya, masing-masing   aparat   penegak   hukum   mempunyai tugas sendiri-sendiri dan terpisah antara satu dengan yang lain. Indonesia menganut sistem yang kombinasikan dengan model yang lain. Sebagai contoh, asas presumption of innocent tetap menjadi landasan legal normatif bagi polisi ketika mengadakan pemeriksaan terhadap tersangka.  Artinya, si tersangka diberlakukan seperti orang yang tidak bersalah. Namun di sisi lain, secara formal KUHAP menyatakan penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana.  Hal ini berarti berdasarkan diskiptif faktual, Polisi dan Jaksa harus yakin bahwa terhadap orang yang sedang disidik atau didakwa, dia adalah pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Sehingga secara teori desain Gakumdu memungkinkan untuk melakukan OTT dan TT dalam kerangka integrated criminal justice system baik itu crime control model dan due process model.

Melegitimasikan mau OTT dan TT

Guna melegitimasikan tindakan Bawaslu mau OTT dan TT kedepan dapat menggunakan dua alternatif desain yakni pertama, model KPK dengan memasukan Penyidik atau Penuntut umum dalam salah satu deputinya yakni deputi penindakan yang mempunyai tugas penyeledikan, penyidikan dan penuntutan. Konsekuensi dengan mamasukan Penyidik atau Penuntut umum menjadi bagian dari KPK ketika melakukan OTT dan TT mempunya legitimasi yang kuat sesuai dengan KUHAP atau UU Tipikor karena didalamnya terdapat Penyidik dari unsur Kepolisian dan Penuntut Umum dari Unsur Kejaksaan. Kedua, menggunakan model Saber Pungli yang didalamnya juga terdapat antara lain Polri dan Kejaksaan dan banyak Lembaga/instansi lain yang bergabung walaupun memiliki stuktur yang berbeda namun memiliki kesamaan dengan Gakkumdu yang mengabungkan beberapa unsur (integrated). Saber Pungli juga memiliki legitimasi yang kuat dalam melakukan OTT dan TT karena secara rigid tindakan OTT dilegitimasi oleh Perpres namun hadirnya unsur Kepolisian dan Kejaksaan juga melegitimasi tindakan dari Saber Pungli. Kedua desain tersebut sama-sama memiliki legitimasi dalam melakukan OTT dan TT yang dapat menjadi alternatif pilihan kedepan.

Dari desain tersebut, dikaitkan dengan rangkaian tindakan OTT dan TT pada dasarnya bukan merupakan tindakan yang berdiri sendiri artinya bukan hanya sekedar penangkapan namun merupakan rangkaian tindakan yang bisa saja selain penangkapan memerlukan penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang memerlukan legitimasi dari penyidik (unsur polri) dan penuntut umum (unsur kejaksaan). Untuk itu ketika mau OTT dan TT tindak pidana pemilu atau pemilihan, saat ini Bawaslu harus mengganti baju kedalam Gakkumdu kemudian memastikan hadirnya pendampingan dalam pristiwa tersebut sehingga ketika diperlukan upaya-upaya penegakan hukum ada penyidik (unsur kepolisian) dan penuntut umum (unsur kejaksaan) yang melegitimasi tindakan mau OTT dan TT. Hal ini dikarenakan walaupun tindak pidana pemilu atau pemilihan merupakan lex specialis namun penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana Pemilu atau Pemilihan dilakukan berdasarkan KUHAP kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pemilu atau Pemilihan.

Pada akhirnya kita sampai bagaimana melegitimasi Bawaslu mau OTT dan TT, ternyata “mau” dalam negara hukum diberikan batas garis agar tidak muncul kesewenag-wenangan dan penyalahgunaan wewenang.

Syaugi Pratama (Analis Hukum Ahli Pertama)