Artikel

CATATAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN TAHUN 2020 DI KALIMANTAN TIMUR

CATATAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA  PEMILIHAN TAHUN 2020 DI  KALIMANTAN TIMUR

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti yang diketahui bahwa standar pemilu demokratis internasional menyatakan bahwa pemilu jujur dan adil (free and fair elections) dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur semua proses pelaksanaan pemilu. Berdasarkan Standar ke-15 yaitu kepatuhan dan penegakan hukum perundang-undangan pemilu. Standar ini menjadi penting dicatat karena kerangka hukum harus menyediakan mekanisme efektif dan perbaikan bagi kepatuhan hukum dan penegakan atas hak-hak pemilu serta memberikan hukuman bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemilu. Kerangka hukum pemilu harus diatur sedetail mungkin untuk melindungi hak-hak sipil. Jika melihat pada standar terakhir (kepatuhan dan penegakan hukum pemilu), adalah penting untuk memastikan pelaksanaan pemilu yang adil.

Sama halnya dengan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Indonesia tak terlepas dari peran sentral penyelenggara pemilu yaitu lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam penegakan etik agar terciptanya bagian dari standar pemilihan yang demokratis.

Berkaitan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggungjawab dibidang pengawasan pemilihan Kepala Daerah diseluruh tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah. Tugas utama Bawaslu melakukan pengawasan dengan cara pencegahan, penindakan dan penyelesaian sengketa. Strategi pencegahan harus dimaksimalkan, namun jika tetap terjadi pelanggaran maka harus dilakukan penindakan. Penindakan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan melakukan proses Penanganan pelanggaran dapat melalui temuan yang melakat pengawas pemilu maupun laporan masyarakat, sebagaimana secara teknis diatur dalam Perbawaslu yang berkaitan dengan Perbawaslu Penanganan Pelanggaran Pemilihan nomor 8 Tahun 2020.

Pada struktur penanganan maupun penanganan pelanggaran Bawaslu, Bawaslu Provinsi maupun Bawaslu Kab/Kota seyogyanya telah melakukan tindakan yang strategis dan efesien sehingga permasalahan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2020 yang ditemukan maupun dilaporkan untuk segera dilakukan Proses Penanganan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dalam proses penanganan dan penindakan pelanggaran menjadi lebih optimal.

PENEGAKAN HUKUM

Berkaitan dengan penegakan hukum pelanggaran pada Pelaksanaan Pemilihan Serentak Tahun 2020 yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur tepatnya 9 (Sembilan) daerah yang melaksanakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dari mulai awal tahapan pelaksanaan yaitu pada bulan Oktober 2019 sampai dengan bulan Maret 2021 ini, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Timur telah melakukan penanganan Pelanggaran Pemilihan selama Tahapan sejumlah 174 (Seratus Tujuh Puluh Empat) kasus pelanggaran, dengan rincian jenis pelanggaran administrasi sejumlah 24 (dua puluh empat) kasus, dugaan pelanggaran pidana sejumlah 7 (Tujuh) kasus, pelanggaran terhadap kode etik penyelenggara pemilu sejumlah 9 (sembilan) kasus, Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan lainnya sejumlah 41 (empat Puluh Satu) Kasus serta perkara yang dihentikan karena kurangnya alat bukti sampai dengan yang bukan termasuk jenis Pelanggaran Pemilihan sebanyak 94 (sembilan) Kasus.

Jenis pelanggaran administrasi  yang berjumlah 24(Dua Puluh Empat) kasus Bahwa dalam jenis pelanggaran administrasi tersebut produk yang menjadi output yaitu berupa surat rekomendasi yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten/Kota.

Jenis pelanggaran pidana yang berjumlah 7 (Tujuh) kasus bahwa terkait penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilihan dalam proses yang dilakukan Bersama gakkumdu memiliki tantangan yang berat dalam konteks penyamaan pemahaman terhadap kasus yang ditangani. Rata – rata yang dalam pembahasan kasus pidana pemilihan tersebut, berhenti dalam pembahasan pertama maupun Pembahasan kedua. Pembahasan kedua memang memiliki tantangan yang besar dan berat, karena untuk menyamakan pemahaman ketiga (tiga) institusi Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan Negeri (three partried) sangat menjadi perhatian tersendiri dan hal lain dalam penanganan perkara Tindak Pidana yang berhenti di tahap penyidikan adalah bagian dari wewenang penuh pihak penyidikan yang mengeluarkan SP3, dalam hal ini dari 7 kasus terdapat 4 kasus yang di keluarkannya SP3.

Jenis pelanggaran peraturan perundang – undangan lainnya  yang berjumlah 41 (empat Puluh Satu) kasus,bahwa kasus tersebut dari unsur ASN. Output dalam penanganan jenis pelanggaran peraturan perundang – undangan lainnya, berupa Penerusan penanganan pelanggaran ke KASN untuk di tindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku.

Jenis pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu sejumlah 9 (sembilan) kasus. Subyek penyelenggara pemilu yang dilaporkan adalah penyelenggara pemilu yang terkait tidak berintegritas dan professional dalam menjalankan tugasnya, yang terdiri dari penyelenggara Ad Hoc baik Itu PPK, PPS, Panwaslucam maupun Pengawas Kelurahan/Desa.

 

oleh : Agus Purnomo

Dari sejumlah penanganan pelanggaran yang meliputi pelanggaran administrasi, pidana, peraturan perundang-undangan lainnya, dan etik, maka dapat ditarik beberapa evaluasi dan refleksi yang mendasarkan pada beberapa indikator substansiil dalam konteks penegakan hukum Pemilu (law enforcement of election), menurut pemikir hukum oleh Lawrence M. Friedman, bahwa dalam kontek penegakan hukum dipengaruhi oleh legal subtains (isi hukum), legal cultural (budaya hukum), legal struktur (struktur hukum), kemudian dikembangkan oleh pemikir hukum Indonesia, Prof Soerjono Soekanto, ditambah menjadi sarana dan prasarana hukum (legal facilities). Beberapa indikator penegakan hukum tersebut, akan dilakukan elaborasi berdasarkan data riil kasus hukum yang ditangani oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota Se Kalimantan Timur, berikut indikator penegakan hukum, sebagai berikut :

Ditinjau dari legal subtains (isi hukum)

Penegakan hukum pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dipengaruhi oleh substansi hukum (isi hukum), isi hukum yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, isi hukum yang terkandung dalam Undang-undang terkadang menimbulkan tafsir pembuktian dalam unsur pasal tindak Pidana, masing-masing Lembaga khususnya yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) baik Bawaslu, Kepolisian maupun Kejaksaan mempunyai tafsir unsur pembuktian dalam setiap pasal yang berbeda contoh dalam pasal 187 ayat 1 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk masing-masing calon, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)” dalam pembuktian unsur makna “Kampanye” apakah pelaksanaannya  merupakan kegiatan kampanye karena berdasarkan pasal 1 angka 21 UU 1 tahun 2015 bahwa Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, yang menjadi beda tafsir pertanyaannya apakah frase “visi, misi, dan program” bersifat alternatif atau kumulatif?, Jika kita menggunakan penafsiran sistematis dan logis, jika dimaknai secara kumulatif, maka tidak akan ada pasangan calon yang diproses karena dugaan kampanye di luar jadwal, dan bisa dipastikan Pasangan calon akan dengan mudah mengakali cara pandang ini, dengan beralasan hanya menyampaikan salah satu dari tiga materi kampanye tersebut maka dari penafsiran yang berbeda antara masing-masing lembaga, maka Pasal 187 ayat (1) akan jadi Pasal mati. Salah satu contoh pasal diatas dan masih banyak pasal lain yang memilki tafsir pembuktian unsur yang akan sangat sulit dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana.

 Ditinjau dari legal cultural (budaya hukum)

Penegakan hukum pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, dipengaruhi oleh budaya hukum, khususnya warga masyarakat (rakyat)  Kalimantan Timur. Budaya hukum merupakan cipta, rasa, karsa, turun temurun, yang dilakukan sejak lama oleh daerah tertentu, khususnya di Kalimantan Timur. Suatu tindakan, perbuatan, cara pandang, kebiasaan yang sudah lama dilakukan oleh warga masyarakat di Kalimantan Timur, dikatakan hal tersebut sebagai budaya hukum masyarakat Kalimantan Timur. Budaya hukum masyarakat Kalimantan Timur, dapat diukur dari perspektif penegakan hukum terkait berapa banyak masyarakat Kalimantan Timur yang berani melaporkan suatu kasus dugaan pelanggaran ke Bawaslu, setidak-tidaknya instansi yang memiliki kewenangan. Jika dari sekian banyak pelanggaran yang ditanganinya masih sedikit, maka budaya hukum untuk melapor, menaati, memberanikan diri masih tergolong perlu ditingkatkan. Jangan sampai budaya hukum bertolakbelakang, mereduksi, melemahkan, proses penegakan hukum, misalnya mendiamkan kasus, menyerah, hukum yang merepotkan diri, apalagi menjadi bagian dari mengacaukan hukum (disorder of law), misalnya menjadi pelaku, terkait, intelektual, ikut serta, pembantuan persoalan hukum kepemiluan.

 Ditinjau dari legal structur (struktur hukum)

Dalam tinjauan struktur hukum di Indonesia maupun dalam ranah kepemiluan mengenal struktur atau hierarki hukum, mulai jenjang tertinggi ideologi hukum Pancasila, konstitusi UUD NRI 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Perda. Struktur hukum kepemiluan di Indonesia, setidak – tidaknya lokalitas di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Di Indonesia mengenal hierarki hukum (struktur, tingkatan hukum), secara teoritik bahwa antara hukum diatas dengan dibawahnya tidak boleh terjadi benturan (conflict of law), tingkatan hukum di atur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Dalam konteks hukum kepemiluan benturan hukum lebih kepada norma peraturan perundangan yang dalam pelaksanaannya  dikesampingkan oleh surat edaran yang seharunya dimana dalam sistem hirarki pelaksana peraturan perundang-undangan lebih tinggi daripada surat Edaran, dengan adanya problem ini menyebabkan kendala dalam penegakan hukum.

 Ditinjau Dari legal facilities (sarana dan prasarana hukum)

Penegakan hukum pada pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah Serentak Tahun 2020, dipengaruhi oleh fasilitas dan sarana pra sarana hukum yang ada di kantor – kantor penegakan hukum kepemiluan. Fasilitas kantor yang berkaitan dengan penggunaan sarana pra sarana, fasilitas, instrument dalam penggunaan perangkat penegakan hukum kepemiluan. Instrument penegakan hukum kepemiluan dalam penanganan tindak pidana pemilihan terwadahi dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), yang merupakan konsorsium 3 (tiga) lembaga, yakni Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, yang terdapat diberbagai jenjang kelembagaan. Dalam kontek penegakan hukum administrasi pemilihan terfasilitasi dengan proses penanganan yang bentuk hasilnya berupa rekomendasi dan bukan melalui proses quasi peradilan beda hal seperti penegakan hukum yang mengurusi sengketa telah menggunakan model musyawarah penyelesaian sengketa, baik peserta melawan peserta, maupun peserta melawan penyelenggara pemilu. Kesemuanya model penegakan hukum diatas, memerlukan instrument dan sarana pra sarana untuk mendukung penegakan hukum tersebut, sampai saat ini masih belum ada optimalisasi dalam kontek instrument dan sarana pra sarana tersebut, misalnya keterbatasan personalia yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu yang masing – masing perwakilan Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan masih terbatas, dengan cangkupan cover area yang luas. Penggabungan penegakan hukum tindak pidana pemilihan melalui Sentra Gakkumdu yang membutuhkan tempat representatif, kemudian dimarger dengan proses penanganan pelanggaran administrasi melalui proses ruang yang berbeda, Penggabungan sarana pra sarana dengan sidang musyawarah penyelesaian sengketa  dengan Quasi Peradilan. Dalam konteks sarana dan prasana formulir – formulir yang dibutuhkan belum adanya spesifikasi masing – masing penanganan pelanggaran dan sengketa, belum lagi tantangan masing – masing personalia penegak hukum yang tidak tahu atau belum optimal dalam penggunaannya