Artikel

Menanti kehadiran Pemantau Pemilihan dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan

Menanti kehadiran Pemantau Pemilihan dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan

 

        Menanti kehadiran mungkin memiliki makna kerinduan mendalam, romantis memang. Nyatanya romantisme dalam hukum bukan sesuatu yang haram, terbayang kalimat dari salah satu Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan dalam Ilmu Hukum Tata Negara hanya ada pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Supaya tidak bertikai, ia menyebut yang terbagus adalah yuridis romantis. Melalui yuridis romantis ini akan mencari jalan dari kerinduan kehadiran pemantau pemilihan dalam penyelesaian sengketa pemilihan. Kerinduan ini bukan tanpa alasan, Pemantau pemilihan dalam penyelesaian sengketa pemilihan akan memberikan warna baru dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah. Romantisme kehadiran pemantau pemilihan dalam penyelesaian sengketa pemilihan bukan hal mustahil, secara normatif saat ini kehadiran pemantau tidak memiliki legal standing. Namun hal ini bukannya sesuatu yang tabu untuk dihadirkan, jika melihat Mahkamah Konstitusi mengakomodir Pemantau pemilihan dalam negeri yang terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU dapat bertindak sebagai subjectum litis dalam perselisihan hasil pemilihan. Peluang ini menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk coba memasukan Pemantau pemilihan sebagai subjectum litis juga dalam penyelesaian sengketa pemilihan.

Menembus Dimensi Demokrasi

            Sebelum jauh menembus batas romantisme hukum, Aristoteles mengatakan meskipun hukum-hukum sudah dituliskan, bukan berarti tak dapat diubah. Untuk itu upaya kehadiran Pemantau pemilihan dalam penyelesaian sengketa pemilihan ini merupakan sebuah keniscyaan. Tujuan dari kehadiran Pemantau pemilihan sangat terkait dengan tujuan dari pemilihan kepala daerah salah satunya sebagai implementasi kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dalam demokrasi menurut Abraham Lincoln untuk membentuk “government of the people, by the people, for the people”. Guna mencapai tujuan tersebut, setidaknya ada 3 dimensi demokrasi yaitu kompetisi, partisipasi dan kebebasan di suatu negara maka akan lebih membuka peluang bagi berseminya proses demokratisasi.

Menyelami dimensi demokrasi tersebut, diperlukan partisipasi warga negara tidak hanya sebagai pemilih, tetapi juga partisipasi sebagai pengawas dalam menjaga kedaulatan rakyat tersebut. Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Dalam kaitannya dengan Pemilihan Kepala Daerah, pengawasan dan pemantauan pemilhan merupakan satu bagian dari upaya kontrol terhadap proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Keduanya merupakan satu fungsi yang sama sebagai upaya mengawal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kehadiran pemantau pemilihan sangat diharapkan dalam penyelesaian sengketa pemilihan, pemantau tidak hanya hadir ketika terjadi perselihan hasil pemilihan namun juga dalam penyelesaian sengketa proses pemilihan juga diperlukan sebagai bagian dari kontrol dan sebagai dukungan argumentasi fakta hukum ketika menjadi pemohon dalam perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi.

Jika kita ibaratkan perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstistusi merupakan hilir dari muara proses pemilihan kepala daerah yang berkeadilan, sedangkan hulu penegakan hukum pada kepala daerah adalah pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa. Dalam hal penangan pelanggaran misalnya, pemantau dibuka alirannya sebagai pelapor namun dalam hal penyelesaian sengketa aliran tersebut terhambat untuk menjadi pemohon. Pertanyaannya bagaimana aliran keadilan bisa mengalir jika ada hambatan disalah satu hulu?, hambatan ini terlihat jelas jika hanya ada satu pasangan calon. Perkembangannya dinamika calon tunggal tidak lagi dapat terelakan bahkan dibeberapa daerah yang memiliki pengalaman calon tunggal sampai pada titik dimana calon tunggal dapat memenangi Pilkada tersebut.

Men”Jodoh”kan Calon Tunggal dan Pemantau Pemilihan dalam Penyelesaian Sengketa

Secara konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor Nomor 100/PUU-XIII/2015 Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi, Pilkada setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon, akan ada terjadi kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Pilkada merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat, sehingga kekosongan hukum demikian mengancam hak rakyat selaku pemegang kedaulatan, baik hak untuk dipilih maupun hak memilih. Pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihanya apakah setuju atau tidak setuju. apabila suara rakyat lebih banyak memilih setuju maka dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Permasalahannya adalah siapa yang berhak sebagai pemohon dalam penyelesaian sengketa pemilihan, padahal calon tunggal secara konstitusional sudah diakui keberadaannya namun dalam penyelesaian sengketa pemilihan timbul pertanyaan, siapa yang berhak secara hukum untuk merepresentasikan kehadiran calon tunggal?.

Pada pemilihan Kepala Daerah ada dua bentuk Pemantau pemilihan yakni Pemantau dalam Negri dan Pemantau Asing. Pemantau Pemilihan Dalam Negeri adalah organisasi kemasyarakatan yang terdaftar di Pemerintah yang mendaftar dan telah memperoleh akreditasi dari KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk melakukan pemantauan Pemilihan. Sedangkan Pemantau Pemilihan Asing adalah lembaga dari luar negeri yang mendaftar dan telah memperoleh akreditasi dari KPU untuk melakukan Pemantauan Pemilihan. Desain konstitusional terkait dengan pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, sehingga dibutuhkan peran aktif dari pemantau pemilihan khususunya pemantau pemilihan dalam negri sebagai bentuk dari partisipasi dan juga menghadirkan kompetisi dalam demokrasi pada pemilihan kepada daerah.

Dinamika pemantau pemilihan saat ini sifatnya dapat dikatakan aktif namun terbatas. Banyak aktivitas pemantauan pemilu yang dilakukan, fokusnya memang lebih banyak kepada memantau, mencatat, mendokumentasikan dan melaporkan ke pengawas pemilu kalau hasil pantauan tersebut adalah pelanggaran pemilihan. Namun untuk penyelesaian sengketa bukan hanya pasif melainkan tidak memiliki legal standing untuk memberikan kontrol terhadap produk KPU yang mungkin saja merugikan secara langsung dalam pelaksanaan tahapan pemilihan Kepala Daerah. Dengan dibukannya keran ini, pemantau yang aktif dalam penyelesaian sengketa pemilihan menjadikan partisipasi, kompetisi dan kebebasan dalam kerangka dimensi demokrasi menjadi terlihat jelas esensinya. Per”jodoh”an calon tunggal dan pemantau pemilihan dapat membuka pintu dari beberapa permasalahan terkait dengan peran serta pemantau pemilihan dalam pemilihan kepala daerah.

Makna Peserta dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan

Secara normatif, berdasarkan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) yang diturunkan kedalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Perbawaslu 2/2020), Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa Pemilihan yang terdiri atas sengketa antarpeserta Pemilihan; dan  sengketa antara Peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan. Kata kunci dalam pencarian dimana kehadiran pemantau pemilihan dalam penyelesaian sengketa pemilihan adalah Peserta.

Peserta dalam penyelesaian sengketa pemilihan menurut Perbawaslu 2/2020 disebut sebagai Pihak yang terdiri atas Pemohon yakni Bakal Pasangan Calon atau Pasangan Calon. Kemudian Termohon dalam penyelesaian sengketa Pemilihan terdiri atas: KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota untuk sengketa Pemilihan antara peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan atau Pasangan Calon untuk sengketa antarpeserta Pemilihan. Jika melihat Perbawaslu memaknai peserta dalam penyelesaian sengketa pemilhan ini sangat limitatif siapa yang berhak menjadi subjectum litis. Sedangkan jika melihat objectum litis penyelesaian sengketa pemilihan dalam Perbawaslu 2/2020 sengketa antar peserta dengan penyelenggara terjadi akibat dikeluarkannya keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota yang menyebabkan hak peserta Pemilihan dirugikan secara langsung. Untuk sengketa antarpeserta terjadi akibat tindakan peserta Pemilihan yang menyebabkan hak peserta Pemilihan lainnya dirugikan secara langsung. Dengan objectum litis tersebut, peran dari Pemantau pemilihan diperlukan dalam mengontrol beberapa keputusan KPU dan juga tindakan calon tunggal.

Jika melihat perluasan norma yang dibuat Mahkamah Konstitusi, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dijelaskan “Pemohon dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan adalah: Pemantau pemilihan dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon. Perluasan pemantau pemilihan sebagai Pemohon dalam penyelesaian sengketa sebagai subjectum litis melalui terobosan hukum dengan alasan adanya kekosongan hukum dari pembentuk undang-undang, sehingga MK membuat aturan melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) dalam hal adanya calon tunggal. Dimana dalam PMK tersebut MK memperluas subjectum litis dengan melibatkan pemantau dalam negeri yang telah terdaftar di KPU bertindak sebagai subjectum litis. Pemantau pemilu, diharapkan dapat mewakili aspirasi pemilih dan mempermudah akses masyarakat dalam mengajukan permohonan yang mensyaratkan bukti yang cukup. Pemaknaan pemantau pemilihan terkait dengan Pemohon penyelesaian sengketa sebagai subjectum litis dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah ini bisa juga diadopsi oleh Bawaslu dengan menggunkan beberapa alternatif pilihan hukum.

 

Alternatif Pilihan Menghadirkan Pemantau dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan

Romantisme ini sampai pada pilihan, seperti salah satu lirik lagu BIP – “ternyata kita harus memilih mana jalan yang terbaik tuk semua”, dan seperti juga rindu ketika datang kerinduan pilihan kita hanya hadir untuk menghapus kerinduan atau tidak hadir lalu membiarkan kerinduan itu hanya ada dalam bayangan. Untuk itu beberapa alternatif yang dapat dipilih untuk menghapus kerinduan hadirnya pemantau pemilihan dalam penyelesaian sengketa pemilihan yakni:

Pertama, melakukan legislative review yakni upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat mungkin dilakukan dengan mengambil memontum waktu tunggu sampai 2024 ini, permasalahannya adalah Undang-Undang Pemilu ataupun Pilkada sudah ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Untuk semua pihak harus mendorong memasukan kembali undang-undang Pemilu dan Pilkada masuk dalam Prolegnas sehingga dapat segera dilakukan perbaikan-perbaikan. 

Kedua, melalui perluasan peraturan pelaksana (subordinate legislations) dalam hal ini melakukan perbaikan Perbawaslu oleh Bawaslu sebgai legislator sekunder (secondary legislator) terkait dengan memperluas subjectum litis dengan melibatkan pemantau dalam negeri yang telah terdaftar di KPU/KIP bertindak sebagai subjectum litis. Akan tetapi hal ini juga perlu harmonisasi dengan Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara karena penyelesaian sengketa pemilihan di Bawaslu erat kaitannya dengan Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota telah dilakukan. Dimana sampai dengan saat ini masih terdapat juga perbedaan antara subjectum litis dan objectum litis Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan. Momentum ini juga dapat diambil Bawaslu dan Mahkamah Agung untuk dapat bersinergi untuk mengharmonisasikan terkait dengan objectum litis dan subjectum litis Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan.

Ketiga, judicial review cara yang mungkin dapat dipilih sebagai kontrol terhadap norma hukum (norms control) yang biasa dinamakan “judicial review” sebagai proses review terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan oleh Lembaga judicial dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Dengan menggunakan jalan ini dapat dilakukan penafsiran oleh hakim mahkamah konstitusi sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang peserta dalam penyelesaian sengketa pemilihan dimaknai termasuk pemantau pemilihan dalam negeri yang telah terdaftar di KPU/KIP merupakan subjectum litis dalam penyelesaian sengketa pemilihan.

            Dari alternatif tersebut, pada akhirnya bukan tidak mungkin kisah romantis kehadiran Pemantau pemilihan dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan dapat kita nikmati kisahnya dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024.

 

Penulis : Syaugi Pratama (Analis Hukum Ahli Pertama)