Artikel

Perempuan Dalam Pusaran Pengawasan Pilkada (Perspektif Kesetaraan Gender)

Perempuan Dalam Pusaran Pengawasan Pilkada (Perspektif Kesetaraan Gender)

Wacana afirmative action bagi perempuan terus digaungkan dalam setiap proses legislasi agar peraturan perundang-undangan menjadi regulasi yang sensitif gender. Di sektor politik wacana afirmative action ini dituangkan dalam Undang-Undang partai politik yang harus menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian dan pembentukan serta kepengurusan partai politik. Kesempatan perempuan untuk mengisi post-post lembaga negara semakin terbuka dengan diwajibkannya kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara itu untuk pelaksanaan Pilkada, meskipun peraturan perundang-undangan tidak eksplisit menyebutkan kuota perempuan, namun ruang partisipasi perempuan tetap dapat terakomodir. Hal ini terlihat dari banyaknya calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dari kalangan perempuan. Selain itu banyak juga sumber daya perempuan yang turut berperan menjadi penyelenggara pemilihan baik sebagai pelaksana teknis maupun pengawas.

            Pada tahun 2020, ada 4 orang perempuan yang ikut berlaga dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota se-Kalimantan Timur. keempat orang tersebut yaitu Neni Moerniani calon Walikota Bontang, Syarifah Masitah Assegaf calon Wakil Bupati Paser, serta Seri Marawiah dan Sri Juniarsih masing masing merupakan calon Bupati Berau. Keberadaan calon-calon tersebut telah menambah ruang partisipasi perempuan dalam pengawasan Pilkada. Ruang partisipasi pengawasan melalui pelaporan dugaan pelanggaran pemilihan sebagaimana pasal 134 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 terdiri dari tiga kelompok pelapor yaitu Pemilih setempat, Pemantau Pemilihan, dan Peserta Pemilihan. Dengan adanya calon Kepala Daerah dan/atau calon Wakil Kepala Daerah dari kalangan perempuan, maka tidak hanya kaum perempuan dari kelompok pemilih yang dapat mengawasi pelaksanaan Pilkada, namun kaum perempuan dari kelompok peserta pemilihan juga menjadi pihak yang sangat berkepentingan dalam mengawasi Pilkada. Dari kelompok Pemilih, kaum perempuan yang melaporkan dugaan pelanggaran pemilihan selama Pilkada serentak 2020 tercatat ada sebanyak 7 orang atau 8,5% dari total laporan. Sementara itu dari kelompok Peserta Pemilihan, kedua Tim Calon Kepala Daerah perempuan di Kabupaten Berau juga telah menunjukan partisipasi ini dengan melaporkan dugaan pelanggaran pemilihan kepada Pengawas Pemilihan setempat. Kalo memakai perspektif Perbawaslu 14 Tahun 2017, pelaporan ini dapat dimaknai sebagai partisipasi tidak langsung calon Kepala Daerah perempuan melalui tim kampanye dan/atau pihak lain yang ditunjuk. Namun kalo memakai perspektif Perbawaslu 8 Tahun 2020 maka ini bukan termasuk partisipasi tidak langsung calon Kepala Daerah perempuan, karena sifat penyampaian laporan harus prinsipal. Meskipun demikian dengan adanya calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah perempuan, maka pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 di Kalimantan Timur telah membuka ruang partisipasi perempuan dari kelompok Peserta Pemilihan.

            Eksistensi perempuan dalam pengawasan Pilkada serentak 2020 semakin terapresiasi dengan banyaknya kaum perempuan yang berperan sebagai Pengawas Pemilihan. Secara keseluruhan partisipasi perempuan dalam kelembagaan pengawas pemilihan di Kalimantan Timur berjumlah 4.031 orang atau sekitar 43% dari seluruh Pengawas. Tentu ini merupakan persentase yang sangat tinggi dibandingkan kuota afirmatif action di Partai Politik dan pencalonan anggota DPR/DPRD yang hanya 30%. Partisipasi tertinggi perempuan dalam kelembagaan pengawasan pemilihan ada ditingkat TPS yakni mencapai 47%, terdiri dari 3.732 perempuan dan 4.216 laki-laki. Sementara itu untuk ditingkat Kelurahan/Desa, partisipasi tertinggi yang masuk dalam unsur Panwaslu Kelurahan/Desa ada di Kota Bontang yaitu sekitar 7 orang, hampir menyamakan laki-laki yang berjumlah 8 orang. Partisipasi ini tidak sebatas rekrutmen di pengisian jabatan pengawas, tapi secara konkret juga berwujud pelaksanaan tugas pengawasan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah temuan dugaan pelanggaran, yakni 20% diantaranya berasal dari sumber daya perempuan. Partisipasi perempuan di kelembagaan pengawas pemilihan tersebut penting untuk terus didorong, bahkan jika perlu dikuatkan dalam regulasi, yang setidaknya penjaringan pengawas pemilihan dapat mempertimbangkan kuota perempuan. Dengan demikian gerakan afirmatif action kaum perempuan dalam penyelenggaraan Pilkada semakin terbuka.

 

Rekonstruksi Paradigma Feminim

            Relasi antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu “sex” dan “gender.” Dari sudut pandang sex, laki-laki dan perempuan dilihat secara berbeda berdasarkan kelamin. Sementara itu dari sudut pandang gender, laki-laki dan perempuan dilihat secara berbeda berdasarkan aspek sosial, peran perempuan dilihat secara sempit pada sektor domestik rumah tangga, sedangkan peran laki-laki dilihat secara luas pada sektor publik. Akibat cara pandang ini maka lahirlah yang namanya gerakan feminisme yang kemudian diakui sebagai gerakan afirmatif action dalam setiap proses sosial, politik, dan legislasi untuk mendapatkan keadilan gender.

            Pembedaan laki-laki dan perempuan telah melahirkan dua paradigma gender, yaitu “maskulin” dan “feminim.” Paradigma maskulin melihat kehidupan sebagai realitas yang keras. Sedangkan paradigma feminim melihat kehidupan sebagai realitas yang lembut. Berdasarkan paradigma ini, maka proses pemilihan Kepala Daerah selama tahun 2020 dapat dimaknai sebagai proses yang keras, atau dapat dikatakan Pilkada yang bersifat maskulin. Lihat saja berapa banyak kasus kekerasan fisik, verbal, dan psikis yang muncul selama Pilkada, baik kepada penyelenggara, tim/relawan pasangan calon, maupun kepada pemilih. Peristiwa kekerasan yang terjadi antar pendukung Paslon di Berau misalnya, ini merupakan watak maskulin yang terjadi saat pelaksanaan Pilkada.

            Secara ideologis, gerakan feminisme sebenarnya tidak hanya memperjuangkan kesempatan perempuan untuk dapat mengisi post-post penting di sektor publik. Namun juga memperjuangkan hadirnya sistem nilai atau tatanan yang bersifat feminim. Ini dimulai dari proses legislasi, agar peraturan perundang-undangan dapat menindak dan membendung terjadinya segala peristiwa yang bersifat maskulin. Demikian juga pada dimensi Pilkada dan Pemilu. Ide feminisme perlu didorong dalam regulasi pemilihan/pemilu agar Pilkada dan Pemilu dapat dilaksanakan secara lembut tanpa adanya kompetisi yang diwarnai kekerasan dan ancaman.

 

Penulis : Dedi Setiawan, S. IP